Selamat Datang

Usrah Jamadilkubra ialah rangkaian keluarga keturunan SYED JAMALUDDIN AL-AKBAR AL-HUSAINI (Wajo Makasar 1352-1415 M) BIN AHMAD JALALUDDIN SYAH (AHMAD SYAH JALAL) melalui keturunannya SYED ALI NURUDDIN ZAINUL ALAM (Ali Nurul Alam).

Selasa, 27 Januari 2009

Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir

Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi.Bahkan oleh kebanyakan para ulama pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi selama melakukan proses perjalanan menuju Allah).
Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.
Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.
Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.

Syekh Abdullah al-Haddad dan Tarekat Alawiyyah

Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim, Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya, Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).
Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan, bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.
Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah, mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua, kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.
Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat awam.
Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua, sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya. Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.

Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah

Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6 dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah shufiyyah (legalitas kesufian).
Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut: (“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah. Dalam keadaan fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang mempunyai nafs (ruh) akan merasakan mati .” Dia mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan lagi, “Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada di atasnya.” Dia mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku bagian dari cahaya wajah-Nya.” Setelah keadaan fana’-nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, Al- mereka memaksakan untuk memasukkan makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian telah bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia akan tetap bersama kalian.”
Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh. Di antaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh Umar al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).
Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.
Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’ bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj dengan wahdah al-wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan ‘ujub, yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal penempatan diri seseorang sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya) dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal, sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.
Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas bawah maupun kaum tertindas (mustadl’afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul fuqara-nya.

Tarekat Alawiyyah

Tarekat Alawiyyah berbeza dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.

Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik)].

Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir –lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir — , seorang tokoh sufi terkemuka asal Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.

Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.

Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula, dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.

Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di Indonesia. Bahkan dari waktu kewaktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak, yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.

Terjemahan Matan Arbain Imam Nawawi

Hadith Pertama

Dari Amirul Mukminin Umar Al-Khattab r.a katanya : " Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : - ' Bahwasanya amalan-amalan itu adalah ( bergantung ) kepada niat, dan bahwasanya bagi setiap manusia itu apa ( balasan ) yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berhijrah kerana dunia yang ingin ia memperolehinya atau kerana seorang perempuan yang ingin ia menikahinya, maka hijrahnya itu adalah atas apa yang ia berhijrah kerananya.'

Hadith Kedua

Dari Umar Ibnul-Khattab r.a, katanya : Sedang kami duduk di dalam majlis bersama Rasulullah SAW pada suatu hari, tiba-tiba mucul di dalam majlis itu seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, berambut terlalu hitam, tiada kesan bahawa ia seorang musafir, dan tiada antara kami yang mengenalinya, lalu duduk ia bersama Rasulullah SAW, dan ditemukan kedua lututnya dengan kedua lutut Rasulullah SAW serta diletakkan kedua tapak tangannya ke atas kedua paha Rasulullah SAW, lalu berkata Sipemuda : Khabarkan aku tentang Islam ? Rasulullah : Islam, iaitu hendaklah mengucap syahadat - bahawa tiada Tuhan melainkan Allah Ta'ala dan bahawasanya Muhammad itu Rasulullah, dan hendaklah bersembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah apabila mampu ke sana.
Sipemuda : Benar katamu. ( Berkata Umar r.a : Kami merasa hairan kepada tingkah laku sipemuda itu, dia yang bertanya dan dia pula yang mengiyakannya )
Sipemuda : Khabarkanlah kepada ke tentang Iman ? Rasulullah : Hendaklah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-RasulNya, Hari Akhirat dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir Allah yang baikNya atau yang burukNya. Sipemuda : Benar katamu ! Khabarkanlah kepadaku tentang Ihsan ? Rasulullah : Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Sekiranya engkau tidak dapat melihatNya sesungguhnya Allah sentiasa dapat melihat engkau. Sipemuda : Khabarkan padaku tentang hari kiamat ?. Rasulullah : Tiadalah orang yang ditanya itu lebih mengetahui dari orang yang bertanya. Sipemuda : Khabarkan padaku tentang tanda-tandanya ? Rasulullah : Apabila hamba perempuan melahirkan tuannya sendiri ; Apabila engkau melihat orang yang berkaki ayam, tidak berpakaian, pengembala kambing ( berbangga ) membina bangunan yang tinggi-tinggi. ( Kemudian beredar keluar sipemuda itu dari majlis tersebut ) : Rasulullah : Tahukan anda wahai Umar siapakah pemuda yang menyoal kau tadi ? Umar Al-Khattab : Allah dan RasulNya jua yang mengetahui. Rasulullah : Itulah Jibril a.s yang telah mendatangi aku untuk mengajarkan kamu pelajaran agama kamu.

Hadith Ketiga

Dari Abu Abdul Rahman, Abdullah bin Umar r.a, berkata : Aku telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : ' Islam itu didirikan atas lima ( pekara ) - Menyaksikan bahawa tiada Tuhan melainkan Allah, dan bahawasanya Muhammad itu Rasulullah, mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, naik haji ke Baitullah dan puasa sebulan Ramadhan.

Hadith Keempat

Dari Abu Abdul Rahman, Abdullah bin Mas'ud r.a, katanya Rasulullah SAW telah menceritakan kepada kami, sedangkan baginda seorang yang benar dan dibenarkan kata-katanya, sabdanya : ' Sesungguhnya sesaorang kamu dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berupa setitik air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian seketul daging seperti yand demikian itu juga, iaitu 40 hari. Kemudian diutuskan kepadanya malaikat, lalu ditiupkan roh kepadanya dan diperintahkan menulis empat pekara : rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka dan bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya sesaorang kamu itu tetap akan beramal dengan amalan ahli syurga sehinggalah di antaranya dengan syurga itu jaraknya cuma sehasta sahaja. Tiba-tiba dia telah didahului oleh tulisannya ( suratan takdir ) sehingga dia beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya sesaorang kamu tetap akan beramal dengan amalan ahli neraka sehinggalah di antara dirinya dengan neraka cuma sehasta saja. Tiba-tiba dia telah didahului oleh tulisannya sehingga dia beramal dengan amalan ahli syurga, maka akhirnya masuklah dia ke dalam syurga itu.

Hadith Kelima

Daripada Ummul Mukminin, Ummi Abdullah Aisyah r.a. katanya : Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam agama yang bukan darinya adalah tertolak ', ~ diriwayatkan dari Al-Bukhari dan Muslim. Dan pada riwayat yang lain oleh Imam Muslim : " Barangsiapa yang melakukan sesuatu amalan yang tidak dari perintah kami, maka ia adalah tertolak.

Hadith Keenam

Dari Abu Abdullah An-Nu'man bin Basyir r.a. katanya : saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda : ' Sesungguhnya yang halal itu terang ( jelas ) dan yang haram itu terang, dan di antara keduanya pula terdapat pekara-pekara yang syubahat ( tidak terang halal atau haramnya ) yang tiada diketahui oleh orang ramai. Orang yang memelihara dirinya dari pekara-pekara yang syubahat itu adalah seperti orang yang melindungi agama dan kehormatan dirinya. Orang yang tergelincir ke dalam pekara syubahat itu akan tergelincir masuk ke dalam pekara haram. Laksana seorang pengembala di pinggir sebuah tempat larangan, yang akhirnya lalai dan masuk ia ke dalam tempat larangan itu. Adapun bagi setiap raja sebuah tempat larangan, dan tempat larangan Allah itu adalah pekara-pekara yang diharamkanNya. dan ketahuilah pada setiap jasad itu seketul daging. Andainya ia baik, baiklah seluruh jasad itu dan sekiranya ia rosak maka rosaklah seluruh jasad itu. Itulah hati.

Hadith Ketujuh

Dari Abu Ruqayah Tamim bin Aus Ad-Dhari r.a, bahawasanya Nabi SAW bersabda : ' Agama itu adalah nasihat. ' Kami sekelian bertanya : ' Untuk siapa ? ' Maka jawab Rasulullah SAW : ' Bagi Allah, kitabNya, RasulNya dan bagi penganjur-penganjur kaum Muslimin dan orang awamnya. '

Hadith Kelapan

Dari Ibn Umar r.a, bahawasanya Rasulullah SAW pernah bersabda : ' Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehinggalah mereka mengaku tiada tuhan selain Allah dan bahawa Muhammad itu Rasulullah, dan mendirikan sembahyang, memberi zakat, maka jika mereka melakukan semua itu akan terselamatlah darah dan harata benda mereka dariku, kecuali yang mana ada hak Islam padanya dan perkiraan mereka terserahlah kepada Allah Ta'ala. '

Hadith Kesembilan

Dari Abu Hurairah Abdul Rahman bin Sakhar r.a : " Bahawa saya mendengar Rasulullah SAW bersabda : ' Apa yang aku larang kamu lakukan maka hendaklah kamu tinggalkannya, dan apa yang aku perintahkan kamu lakukan hendaklah kamu lakukan sekadar kemampuan kamu. Sesungguhnya telah binasa umat-umat yang sebelum kamu disebabkan terlalu banyak bertanya serta pertelingkahan mereka terhadap Nabi-Nabi mereka.

Hadith Kesepuluh

Dari Abu Hurairah r.a : Telah bersabda Rasulullah SAW : " Sesungguhnya Allah Ta'ala itu baik, dia tidak akan menerima melainkan yang baik sahaja. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum Mukminin sama sebagaimana Dia memerintahkan para Mursalin ( para Rasul ). Allah berfirman : ' Wahai para Rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amalan yang saleh. ' Dan Allah berfirman lagi : ' Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari makanan yang baik yang Kami berikan kepada kamu. ' Kemudian Rasulullah SAW mengisahkan tentang seorang lelaki yang telah belayar jauh. Rambutnya kusut, berdebu, mengangkat kedua belah tapak tangannya ke langit serta memohon : Ya Tuhanku ! Ya Tuhanku ! Sedangkan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram dan pakaiannya dari yang haram, dan dia telah dikenyangkan dari sumber yang haram. Alangkah jauhnya dia ( doanya ) untuk dikabulkan. '

Hadith Kesebelas

Dari Abu Muhammad, Al-Hasan bin Ali bin Abu Talib, cucu Rasulullah SAW dan kesayangannya r.a yang berkata : " Aku menghafal dari Rasulullah SAW : ' Tinggalkanlah apa yang meragukanmu kepada yang tiada meragukanmu.

Hadith Keduabelas

Dari Abu Hurairah r.a katanya: " Telah bersabda Rasulullah SAW : " Sebaik-baik Islam seseorang itu adalah peninggalannya tentang apa yang tiada kena mengena dengannya.

Hadith Ketigabelas

Dari Abu Hamzah, Anas bin Malik r.a, khadam kepada Rasulullah SAW, bersabda Nabi SAW : Tiada beriman sesaorang kamu, sehinggalah ia mencintai saudaranya sama seperti ia menyintai dirinya sendiri.

Hadith Keempatbelas

Dari Ibnu Mas'ud r.a, katanya : Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Tiada dihalalkan darah seorang Muslim, kecuali atas satu dari tiga sebab ; janda yang berzina, jiwa dengan jiwa ( membunuh tanpa hak ) dan orang yang meninggalkan agamanya, yang memisahkan diri dari jemaah.'

Hadith Kelimabelas

Dari Abu Hurairah r.a, bahawasanya Rasulullah SAW bersabda : " Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, hendaklah berkata yang baik atau berdiam diri. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, hendaklah berbuat baik kepada jiran tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, hendaklah menghormati tetamunya.

Hadith Keenambelas

Dari Abu Hurairah r.a, bahawasanya ada seorang telah berkata kepada Nabi SAW : " Nasihatilah kepadaku ! " Dijawab oleh Nabi SAW : " Jangan marah! " Orang itu berulangkali meminta supaya dirinya dinasihati, maka tetap Rasulullah SAW mengatakan : " Jangan marah ! "

Hadith Ketujuhbelas

Dari Abi Ya'la Syaddad bin Aus r.a, bahawa Rasulullah SAW bersabda : " Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berihsan ( menyempurnakan sesuatu dengan baik ) terhadap semua pekara. Seandainya kamu membunuh, maka bunuhlah secara sempurna, dan apabila menyembelih maka elukkanlah penyembelihan. Hendaklah sesaorang kamu menajamkan mata pisaunya dan merehatkan penyembelihannya.

Hadith Kelapanbelas

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu Abdul Rahman, Muaz bin Jabal r.a, dari Rasulullah SAW, sabdanya : " Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringkanlah perbuatan jahat itu dengan perbuatan baik, mudah-mudahan yang baik itu akan memadam yang jahat. Dan berperangai kepada manusia dengan dengan perangai yang bagus.

Hadith Kesembilanbelas

Dari Abu Abbas, Abdullah bin Abbas r.a : Bahawa pada suatu hari saya sedang berada di belakang Rasulullah SAW ( di atas binatang tunggangannya ), lalu sabda baginda : ' Wahai anak kecil, sesungguhnya aku telah mengajar kamu beberapa perkataan. Peliharalah ( perintah ) Allah, nescaya Dia akan memelihara kamu, peliharalah ( kehormatan ) Allah, nescaya engkau akan merasakan Dia berada bersama-samamu. Jika engkau memohon, pohonlah kepada Allah semata-mata. Jika engkau meminta pertolongan mintalah kepada Allah semata-mata. Ketahuilah bahawa jika semua umat manusia berkumpul untuk memberikan kepadamu sesuatu menafaat, nescaya mereka tidak akan mampu memberi menafaat itu, melainkan dengan sesuatu yang telah ditaqdirkan oleh Allah. Begitu juga sekiranya mereka berkumpul untuk menentukan suatu mudharat untuk kamu, nescaya mereka tidak akan mampu menentukannya, melainkan dengan suatu yang telah ditentukan Allah ke atas kamu. Telah diangkat kalam ( tulisan ) dan telah kering ( tinta ) buku catitan. '

Hadith Keduapuluh

Dari Abu Mas'ud, Uqbah bin Amru Al-Anshari Al-Badri r.a, katanya : " Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Di antara sabda para Nabi yang terdahulu yang masih dipakai untuk orang ramai ( sehingga kini ) ialah : Jika engkau tiada malu, buatlah sesuka hati kamu. '

Hadith Keduapuluh Satu

Dari Abu Amru dan dikatakan pula dari Abi Amrah Sufyan bin Abdullah r.a, katanya : " Saya pernah bertanya Rasulullah SAW : Ajarkanlah kepadaku suatu ajaran mengenai Islam, yang tidak akan aku tanyakan lagi daripadanya akan seorang yang selain daripada engkau. Sabda Rasulullah SAW : ' Katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian hendaklah engkau beristiqamah.' "

Hadith Keduapuluh Dua

Dari Abu Abdullah, Jabir bin Abdullah Al-Anshari r.a, bahawasanya telah bertanya seorang lelaki kepada Rasulullah SAW : " Apa pendapatmu jika saya menunaikan semua sembahyang fardhu, dan aku berpuasa sebulan Ramadhan, dan aku halalkan yang halal dan aku haramkan yang haram, dan aku tidak menambahkan suatu atas demikian itu, adakah aku masuk syurga? Jawab Rasulullah SAW : Ya. "

Hadith Keduapuluh Tiga

Dari Abu Malik Al-Hariths bin Ashim Al-Ashya'ri r.a, katanya : Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Suci itu sebahagian daripada iman, dan Alhamdullilah memenuhi timbangan, dan Subhanallah Wal-Hamdullilah pula akan memenuhi ruang antara langit dan bumi. Dan sembahyang itu cahaya, dan sedekah itu bukti, dan sabar itu sinaran dan Al-Quran itu dalil bagimu atau atasmu. Setiap manusia berusaha, ada yang menjual dirinya, ada yang memeliharanya dan ada yang membinasakannya. '

Hadith Keduapuluh Empat

Dari Abu Dzar Al-Ghafiri r.a, dari Nabi SAW yang meriwayatkan dari Tuhannya Allah Azzawajalla, bahawasanya Tuhannya telah berkata : " Wahai hamba-hambaKu ! Sesungguhnya aku telah mengharamkan penganiayaan atas diriKu, dan Aku jadikan haram di antara sesama kamu, maka janganlah kamu aniaya-menganiayai. Wahai hamba-hambaKu ! Kamu sekelian sesat, kecuali siapa yang telah Aku berikan hidayat kepadanya. Maka hendaklah kamu minta hidayat daripadaKu, nescaya Aku akan memberi hidayat itu kepadamu.
Wahai hamba-hambaku ! Sekelian kamu lapar kecuali siapa yang telah Aku berikan makanan kepadanya, maka hendaklah kamu sekelain meminta makan daripadaKu, nescaya Aku akan beri kamu makan. Wahai hamba-hambaku ! Sekelian kamu bertelanjangan, kecuali sesiapa yang aku berikan pakaian, maka mintalah pakaian daripadaKu. Wahai hamba-hambaku ! Sekelian kamu membuat kesalahan pada waktu malam dan siang dan Akulah yang sahaja yang mengampunkan segala dosa. Maka mintalah keampunan daripadaKu, nescaya Aku akan mengampunkan segala dosa-dosa kamu. Wahai hamba-hambaku ! Kamu sekelian tidak mampu merancang sesuatu mudharat untuk memudharatkan Aku, dan kamu tidak mampu merancang sesuatu menafaat untuk memenafaatkan Aku. Wahai hamba-hambaku ! Jika sekiranya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian di antara kamu bersatu, samada dari jenis manusia atau jin, semuanya bertaqwa seperti taqwanya hati seorang manusia di antara kamu, nescaya yang demikian itu tidak akan menambahkan barang sedikit pun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaku ! Jika sekiranya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian di antara kamu bersatu, samada dari jenis manusia atau jin, semuanya berhati jahat seperti jahatnya hati seorang manusia di antara kamu, nescaya yang demikian itu tidak akan mengurangkan barang yang sedikit pun pada kerajaanKu. Wahai hamba-hambaku ! Jika sekiranya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terkemudian di antara kamu bersatu, samada dari jenis manusia atau jin, semuanya berkumpul pada sebuah tanah lapang lalu masing-masing meminta padaKu, nescaya Aku akan memperkenankan kepada tiap-tiap seorang itu akan permintaannya, nescaya yang demikian tidak akan mengurangkan sedikit pun dari apa yang Aku miliki, melainkan seperti terkurangnya sebatang jarum yang jatuh ke dalam laut. Wahai hamba-hambaku ! Sebenarnya semua itu adalah amalan-amalan kamu yang Aku catitkan bagi kamu sekelian, kelak di kemudian hari akan Aku balas atas tiap-tiap satu daripadanya. Oleh itu, barangsiapa menerima kebaikan hendaklah ia memuji Allah dan barangsiapa yang menerima sebaliknya janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri. "

Hadith Keduapuluh Lima

Dari Abu Dzar Al-Ghafiri r.a jua, bahawasanya segolongan manusia dari sahabat-sahabat Rasulullah SAW, bertanya kepada Nabi SAW : " Wahai Rasulullah ! Orang-orang kaya telah lebih banyak mendapat pahala. Mereka sembahyang sebagaimana kami sembahyang, berpuasa sebagaimana kami berpuasa dan mereka bersedekah pula dengan harta kekayaan mereka yang lebih itu." Bersabda Nabi SAW : " Bukankah Tuhan telah menunjukkan kamu cara-cara bagaimana kamu boleh bersedekah ? Sesungguhnya dengan tiap-tiap tasbih itu sedekah, dan tiap-tiap takbir itu sedekah, dan tiap-tiap tahlil itu sedekah, dan pada tiap-tiap tahmid itu sedekah dan pada tiap-tiap tahli itu sedekah, dan menyuruh berbuat kebaikan itu sedekah dan melarang membuat kejahatan itu sedekah, dan persetubuhan sesaorang dengan isteri juga sedekah. "Bertanya para sahabat : " Ya Rasulullah ! Adakah sesaorang kami yang memuaskan syahwat dengan isterinya mendapat pahala juga ? "
Bersabda Rasulullah SAW : " Apakah pendapat kamu sekiranya sesaorang itu melepaskan syahwatnya pada yang haram, adakah dosa atasnya ? Demikianlah pula, jika ia melepaskan syahwatnya pada yang halal, adalah baginya pahala. "

Hadith Keduapuluh Enam

Daripada Abu Hurairah r.a : Bahawa Nabi SAW telah bersabda : " Setiap anggota manusia harus membuat sedekah setiap hari apabila matahari terbit. Engkau mendamaikan antara dua orang adalah sedekah. Dan engkau menolong sesaorang menaiki tunggangannya atau pun engkau menolong mengangkat baginya barang-barang ke atas tunggangnya adalah sedekah, dan perkataan yang baik itu sedekah. Dan pada tiap-tiap langkah menuju ke tempat sembahyang adalah sedekah. Dan engkau menjauhkan bahaya dari jalan laluan juga menjadi sedekah. "

Hadith Keduapuluh Tujuh

Dari An-Nawwas bin Sim'an r.a, dari Nabi SAW yang bersabda : " Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik. Dan dosa pula adalah apa yang tersimpul di dalam diri engkau dan engkau benci bahawa ia diketahui manusia mengenainya.~ Riwayat Muslim-Dari Abi Wabishah bin Ma'bad r.a : " Bahawa aku datang kepada Rasulullah SAW lalu banginda bertanya : ' Engkau datang bertanyakan erti kebajikan ? ' Aku menjawab : ' Ya '. Sabda Rasulullah SAW lagi: 'Tanyalah hati engkau. ' Kebajikan itu ialah apa yang mententeramkan diri engkau kepadanya serta mententeramkan hati. Manakala dosa pula ialah apa yang mengganggu jiwa dan meragui dalam dada, walaupun orang ramai telah memberikan engkau fatwa dan terus menfatwakan sesuatu.' "

Hadith Keduapuluh Lapan

Dari Abi Najih bin Al-Irbadh bin Sariyah, katanya : " Rasulullah SAW telah memberikan suatu nasihat kepada kami yang mengeletarkan hati dan menitiskan air mata. Maka kami berkata kepadanya : ' Wahai Rasulullah, seolah-olah ini suatu nasihat yang terakhir, maka berikanlah kepada kami suatu pesanan. ' Sabda Rasulullah SAW : ' Saya berpesan kepada kamu supaya sentiasa bertaqwa kepada Allah Azza wajalla serta mendengar dan taat sekalipun kepada seorang hamba yang memerinta kamu. Sesungguhnya orang-orang yang masih hidup di antara kamu akan menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kamu berpegang kepada sunnahku dan dan sunnah Khalifah Ar-Rasyiddin Al-Mahdiyyin yang beroleh petunjuk ( daripada Allah ) dan gigitlah ia dengan gigi geraham kamu ( berpegang teguh dengannya dan jangan dilepaskan sunnah-sunnah itu ). Dan jauhilah kamu dari pekara-pekara yang diadakan, kerana sesungguhnya tiap-tiap bida'ah itu menyesatkan. '

Hadith Keduapuluh Sembilan

Dari Muaz bin Jabal r.a, berkata : " Khabarkan kepadaku suatu amalan yang membolehkan aku masuk ke dalam syurga dan menjauhkan aku dari neraka." Jawab Nabi SAW : " Sebenarnya engkau telah bertanya suatu pekara yang besar, dan sesungguhnya amat mudah sekali bagi sesiapa yang dimudahkan oleh Allah Ta'ala, iaitu : Hendaklah engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan suatu yang lain. Engkau mendirikan sembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa sebulan Ramadhan dan mengerjakan haji ke Baitullah. " Kemudian Nabi bersabda lagi : " Mahukah engkau aku khabarkan pokok amalan, tiangnya dan kemuncaknya? " Aku menjawab : " Mahu, ya Rasulullah . " Sabda baginda : " Pokok amalan ialah Islam, tiangnya ialah sembahyang dan kemuncaknya ialah jihad. "
Kemudian Nabi bersabda lagi : " Mahukah engkau aku khabarkan kunci kepada semua pekara ini ? " Aku menjawab : " Mahu, ya Rasulullah. " Lalu baginda memegang lidahnya seraya berkata : " Awas, jaga ini baik-baik. "
Aku bertanya : " Ya Rasulullah, adakah kami akan dituntut kerana berkata dengannya ? " Baginda lalu menjawab : " Dan tidak akan dicampakkan manusia ke atas muka mereka atau batang hidung mereka ke dalam neraka, melainkan hasil tutur bicara mereka. "

Hadith Ketigapuluh

Dari Abi Tsa'labah Al-Khusani, Jurthum bin Nashir r.a, daripada Rasulullah SAW, yang bersabda : " Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memfardhukan beberapa kewajipan, maka janganlah kamu mengabaikannya. Dan ia telah menetapkan beberapa hudud ( batasan ), maka janganlah kamu melampauinya. Dia telah mengharamkan beberapa benda maka janganlah kamu melanggarnya. Dan Dia telah mendiamkan beberapa pekara sebagai suatu rahmat terhadap kamu, bukan kerana lupa maka janganlah kamu membahas mengenainya. "

Hadith Ketigapuluh Satu

Dari Abu Abbas, Sahil bin Saad As-Sa'idd r.a, berkata : " Telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah SAW dan bertanya : ' Ya Rasulullah, tunjukkan aku suatu amalan, sekiranya aku buat, nescaya aku dicintai oleh Allah dan orang ramai. 'Maka dijawab Nabi : ' Hendaklah zahid di dunia, nescaya engkau dicintai oleh Allah dan engkau zahid pada apa yang ada di sisi manusia, maka nescaya engkau dicintai oleh orang ramai. '

Hadith Ketigapuluh Dua

Dari Abi Said Sa'd bin Malik bin Sinan Al-Khudri r.a, bahawasanya Rasulullah SAW pernah bersabda : " Tiada mudharat dan tiada memudharatkan."

Hadith Ketigapuluh Tiga

Dari Ibn Abbas r.a bahawa Nabi SAW pernah bersabda : " Jika dilayankan setiap orang dengan tuntutannya, nescaya ada orang yang menuntut harta benda orang lain dan ada pula yang menuntut darahnya. Akan tetapi yang menuntut itu harus menbawa saksi, manakala yang memungkiri harus bersumpah. "

Hadith Ketigapuluh Empat

Dari Abi Said Al-Khudri r.a, katanya : " Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : " Barangsiapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya ( kuasanya ). Sekiranya ia tiada berkuasa maka hendaklah ia mengubahnya dengan lidahnya ( nasihatnya ). Sekiranya ia tiada berkuasa maka hendaklah ia mengubahkannya dengan hatinya ( tidak meredhai perbuatan tersebut ). Dan yang demikian adalah selemah-lemah iman.

Hadith Ketigapuluh Lima

Dari Abu Hurairah r.a, katanya : " Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Janganlah kamu berdengki-dengkian, dan jangan kamu tipu-menipu, dan jangan benci-membenci, dan jangan musuh memusuhi, dan jangan kamu berjual beli atas jual beli setengah yang lain, dan jadilah kamu sekelian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah bersaudara sesama Muslim, tidak boleh menganiayanya, tidak boleh membiarkannya tertindas, tidak boleh mendustainya dan tidak boleh menghinainya. Taqwa itu berpunca dari sini - sambil Nabi SAW menunjukkan ke dadanya tiga kali. Sudah memadailah kejahatan seorang itu jika ia menghina saudaranya yang Islam. Seorang Muslim ke atas seorang Muslim yang lain diharamkan darahnya, harta bendanya dan kehormatannya.'"

Hadith Ketigapuluh Enam

Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi SAW, dari Nabi SAW, yang bersabda : " Barangsiapa yang melapangkan seorang mukmin suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, nescaya Allah akan melepaskan dirinya dari suatu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di hari kiamat.
Dan barangsiapa yang meringankan penderitaan seorang yang susah, nescaya Allah akan meringankan penderitaan dirinya di dunia dan di akhirat.
Barangsiapa yang menutup keaipan seorang Muslim, nescaya Allah akan menutup keaipannya di akhirat. Dan Allah selalu menolong hambaNya, selagi hambaNya berusaha menolong saudaranya. Barangsiapa yangmenuju satu jalan untuk menuntut ilmu, nescaya Allah akan memudahkan suatu jalan baginya ke syurga. Dan tidak berhimpun suatu kelompok manusia dalam suatu rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Kitabullah dan mempelajarainya antara sesama mereka, melainkan diturunkan ke atas perhimpunan mereka ketenteraman, diliputi oleh rahmat., di kelilingi oleh para Malaikat dan disebut Allah kepada sesiapa yang di sisiNya. Sesiapa yang dilengahkan oleh amalannya maka tidak akan dipercepatkan oleh keturunannya. "

Hadith Ketigapuluh Tujuh

Dari Ibn Abbas r.a dari Rasulullah SAW yang meriwayatkan hadis ini daripada Tuhannya Tabaraka Wa Ta'ala, katanya : " Sesungguhnya Allah telah menetapkan yang baik dan yang jahat, dan telah menerangkan keduanya itu. Maka barangsiapa yang bercita kepada kebaikan, kemudian ia tidak mengerjakannya - Allah akan mencatit disisinya satu hasanah yang sempurna. Dan jika ia melaksanakan, nescaya Allah akan mencatitkan di sisiNya sepuluh hasanah hingga tujuh ratus kali lipat ganda dan hingga sampai beberapa kali ganda banyaknya. Dan jika ia bercita-cita mengerjakan sesuatu kejahatan kemudian tidak dilakukannya, Allah akan mencatitkan di sisiNya satu hasanah yang sempurna. Jika ia meneruskan cita-citanya yang jahat itu dan melakukannya, Allah akan mencatitkan baginya satu kejahatan sahaja.
~ Bukhari dan Muslim dalam kitab sahih keduanya.

Hadith Ketigapuluh Lapan

Dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah SAW telah bersabda : " Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman : Barangsiapa yang memusuhi waliKu ( orang yang setia padaku ), maka sesungguhnya aku mengisytiharkan perang terhadapnya. Dan tiada seorang hambaku yang bertaqarrub ( beramal ) kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Ku cintai hanya dari ia menunaikan semua yang ku fardhukan ke atas dirinya. Dan hendaklah hambaKu sentiasa bertaqarrub dirinya kepadaKu dengan nawafil ( ibadat sunat ) sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, nescaya adalah Aku sebagai pendengarannya yang ia mendengar dengannya, dan sebagai penghilantannya yang ia melihat dengannya, dan sebagai tangannya yang ia bertindak dengannya, dan sebagai kakinya yang ia berjalan dengannya. Dan sekiranya ia meminta kepadaKu nescaya Aku berikan kepadanya, dan sekiranya ia memohon perlindungan kepadaKu nescaya Aku lindungi ia.

Hadith Ketigapuluh Sembilan

Dari Ibn Abbas r.a, bahawa Rasulullah SAW telah bersabda : " Sesungguhnya Allah memaafkan bagiku daripada umatku segala perbuatan dari kesilapan dan kelupaan dan segala yang dipaksa ke atas diri mereka

Hadith Keempatpuluh

Dari Ibn Umar r.a., katanya : " Rasulullah SAW telah memegang bahuku dan bersabda : ' Anggaplah dirimu di dunia ini sebagai seorang perantau, atau pengembara. ' Maka Ibn Umar berkata : "Jika engkau berada di waktu petang, maka janganlah engkau menunggu pagi. Dan jika engkau berada di waktu pagi maka janganlah engkau menunggu petang. Gunakanlah waktu sihatmu sebelum datang waktu sakit. Dan gunakanlah waktu hidupmu sebelum datang waktu mati. "

Keempatpuluh Satu

Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amru bin Al-Ash r.a katanya : " Telah bersabda Rasulullah SAW : ' Tiada beriman sesaorang dari kamu sehingga hawa nafsunya patuh kepada apa yang aku sampaikan. ' "

Keempatpuluh Dua

Dari Anas r.a, katanya : " Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : ' Telah berfirman Allah Ta'ala : Wahai anak Adam ! Setiap kali engkau berdoa berharap kepadaKu, Aku akan tetap mengampunimu atas segala dosa yang engkau lakukan, dan Aku tiada peduli. Wahai anak Adam ! Andaikata dosa-dosa kamu setinggi langit kemudian kamu memohon keampunanKu, nescaya Aku akan mengampunimu.Wahai anak Adam ! Andaikata engkau datang padaku dengan dosamu sepenuh bumi ini, kemudian engkau menemuiKu, pada hal tiada engkau menyekutui akan Aku dengan sesuatu pun, nescaya Aku akan datang kepadamu dengan keampunan sepenuh bumi pula.

Khamis, 8 Januari 2009

Bermazhab Dengan Mazhab Salafiyyah


Bermazhab dengan mazhab al-Salafiyyah (Salafy) adalah DILARANG Penjelasan Imam al-Nawawi dipetik dari kitab Majmu’ Sharh al-Muhazzab Bab Adab Berfatwa, Mufti dan Orang Yang Bertanya Fatwa

Terjemahan “Dan tidak boleh bagi si awam itu bermazhab dengan mazhab salah seorang daripada imam-imam di kalangan para sahabat r.anhum dan selain daripada mereka daripada generasi-generasi yang terawal, walaupun mereka lebih alim dan lebih tinggi darjatnya berbanding dengan (ulama’) selepas mereka; ini adalah kerena mereka tidak meluangkan masa sepenuhnya untuk mengarang ilmu dan meletakkan prinsip-prinsip asas dan furu’nya. Maka tidak ada bagi salah seorang daripada mereka sebuah mazhab yang telah dihalusi, dianalisis dan diperakui.

Hanyasanya, (ulama’2) yang datang selepas mereka yang merupakan pendokong mazhab para sahabat dan tabien lah yang melakukan usaha meletakkan hukum-hukum sebelum berlakunya perkara tersebut; yang bangkit menerangkan prinsip-prinsip asas dan furu’ mereka seperti (Imam) Malik dan (Imam) Abu Hanifah dan selain dari mereka berdua.”

[Kemudian Imam al-Nawawi menjelaskan kelebihan mazhab Imam al-Shafie dari pandangan beliau dan dengan secara tersiratnya menerangkan mengapa beliau bermazhab dengan mazhab Imam al-Shafie] “Dan oleh kerana Imam al-Shafie adalah merupakan imam yang terkemudian dari sudut masa, maka beliau telah melihat mazhab-mazhab mereka seperti mana mereka melihat mazhab-mazhab ulama’ sebelum mereka. Maka beliau menperhalusinya, mengujinya dan mengkritiknya dan memilih yang paling rajih (kuat) dan beliau mendapat hasil daripada usaha ulama’2 sebelum beliau yang telah meletakkan gambaran dan pengasasan, maka beliau telah meluangkan masa untuk memilih dan mentarjih dan menyempurnakan dan meminda, dengan pengetahuan beliau dan kebijaksanaan beliau dalam pelbagai bidang ilmu.

Dan dengan perkara ini beliau mendapat kedudukan yang lebih kuat dan rajih, kemudian tidak ada selepas beliau, (alim) yang mencapai kedudukan seperti beliau dalam perkara ini. Maka dengan ini, mazhab beliau adalah mazhab yang paling utama untuk diikuti dan bertaqlid dengannya – dan ini dengan jelasnya bahawa kita mestilah berlaku adil dan tidak ada meletakkan sebarang sikap memandang rendah pada salah seorang daripada para imam. Hal ini, apabila diteliti oleh si awam akan memandunya kepada memilih mazhab Imam al-Shafie dan bermazhab dengannya.”


2. Bermazhab dengan mazhab al-Salafiyyah adalah bid’ah yang tidak pernah berlaku sebelum ini.

Alim besar Syria yang tidak perlu diperkenalkan lagi, al-Sheikh Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Bouthi menerangkan dengan panjang lebar sebuah ajaran baru yang dinamakan “al-Salafiyyah” selepas ditukar jenama daripada “al-Wahhabiyyah” kerana pengamal ajaran ini tidak mahu ajaran ini dinisbahkan kepada Muhammad Ibn Abdul Wahhab semata-mata. [Rujuk m/s 235 & 236 daripada kitab dibawah]

Beliau menyatakan bahawa MENGIKUT GENERASI SALAF adalah satu perkara yang sangat-sangat berbeza berbanding BERMAZHAB DENGAN MAZHAB AL-SALAFIYYAH yang digembar-gemburkan oleh pengamal Wahhabi pada hari ini.[Rujuk m/s 221 sehingga 242 daripada kitab di bawah].

Beliau berkata bahawa istilah yang digunakan oleh para ulama’ untuk menamakan kedudukan para ulama’ yang benar adalah Ahli Sunnah dan Jama’ah. Istilah Ahli Sunnah dan Jama’ah adalah istilah yang telah diijmak oleh para ulama’ generasi Salaf untuk menamakan golongan yang benar. Manakala istilah al-Salafiyyah yang digunakan oleh golongan Wahhabi pada hari ini untuk melambangkan dan menamakan golongan yang benar [menurut sangkaan mereka] adalah satu bid’ah yang tercela bahkan tidak pernah digunakan oleh generasi Salafus Soleh untuk menamakan golongan yang benar.

Sila lihat petikan dan terjemahan kata-kata beliau di bawah [Semoga anda diberi hidayah oleh Allas SWT]. Kitab ini bertajuk “Al-Salafiyyah: Satu Tempoh Masa Yang Diberkati dan bukanlah Sebuah Mazhab Islam.” Kitab ini adalah satu penerangan dan kritikan yang penuh ilmiah terhadap ajaran Wahhabi yang dikarang oleh seorang alim seperti beliau.

“Cukuplah pujian bagi kitab ini dengan disebutkan nama penulisnya.” Terjemahan:“Dan manakala apabila seorang Muslim mentakrifkan / memperkenalkan dirinya dengan menyatakan bahawa dia disandarkan kepada sebuah mazhab yang dikenali pada hari ini dengan al-Salafiyyah, maka tanpa ragu-ragu lagi dia adalah seorang ahli bid’ah. Ini adalah kerana sekiranya istilah “al-Salafiyyah” boleh memberi maksud yang sama seperti “Ahli Sunnah dan Jamaah”, maka sesungguhnya dia telah melakukan bid’ah dengan mencipta nama yang berbeza dengan nama yang telah disepakati oleh generasi Salaf [Semoga keredhaan Allah dilimpahkan ke atas mereka].

Dan nama yang bid’ah lagi tidak diperlukan ini telah cukup untuk menimbulkan ketidakstabilan dan perpecahan di dalam saf-saf [perpaduan] umat Islam. Dan manakala sekirannya nama al-Salafiyyah ini memberi maksud yang berbeza dengan dengan hakikat Ahli Sunnah dan Jama’ah – dan inilah kebenarannya – maka bid’ah ini telah berlaku dengan nama rekaan tersebut [al-Salafiyyah] serta kandungannya yang bathil, dan istilah ini cuba menegakkan benderanya dan mengangkat kedudukannya sebagai ganti kepada kebenaran yang telah disepakati oleh generasi Salaf dan [generasi Salafus Soleh pada hakikatnya] telah berijma’ menggunakan nama “Ahli Sunnah dan Jama’ah” [bagi golongan yang benar].”

Maka telah terbuktilah bid’ah [golongan Salafi Wahhabi ini] dalam menggunakan istilah “al-Salafiyyah” di samping maksudnya yang juga bid’ah untuk digunakan sebagai jenama/nama bagi sebuah kumpulan baru [Salafi Wahhabi] yang memisahkan diri mereka dari jemaah umum Umat Islam yang bersatu dalam menggunakan istilah “Ahli Sunnah dan Jama’ah” serta berpegang dengan hakikat [Ahli Sunnah dan Jama’ah] yang benar.” Dapat difahami daripada kata-kata di atas bahawa al-Sheikh al-Bouthi: Menerangkan bahawa istilah al-Salafiyyah adalah satu istilah yang bid’ah dan bertentangan dengan kesepakatan ulama’ generasi Salaf.Menolak istilah al-Salafiyyah untuk digunakan sebagai ganti Ahli Sunnah dan Jamaah.

Berterus-terang bahawa kandungan ajaran yang dibawa oleh kelompok Salafiyyah Wahhabiyyah adalah bukan merupakan pegangan Ahli Sunnah dan Jamaah.Semoga nasihat beliau ini mampu melembutkan hati yang keras, menghidupkan hati yang mati, menyedarkan hati yang lalai, mengubati hati yang berpenyakit dan meluruskan hati yang terpesong dengan izin Allah SWT dan berkat kasih sayang-Nya kepada Rasulullah SAW. Wassalam.



Isnin, 5 Januari 2009

Pengenalan Usrah Jamadilkubra

Five to seven hundred years after the Hijrat of the Prophet Mohammad (swa), the Muslim world experienced an extremely turbulent period. However, Sufism blossomed and spread its roots even further. Between 550-700 A.H. the twelfth and thirteenth centuries , the chaotic disruption of the Mongol invasion reached as far as Baghdad and destroyed the caliphate along with numerous concurrent disasters. Regardless, the faithful Muslim saints and scholars flourished at a greater rate than previously recorded. Many Sufi Orders were founded in this period; and those who had dissipated were once again revived.

Among the saintly scholars, Najm al-Din Kubra, founder of the Kubrawiyyah Order, began teaching in Khwarazm; a region in NW Uzbekistan, which, in the past, was part of the great Persian Empire, under the rule of Cyres, the Great. The Kubrawiyyah Order soon expanded its wings and spread its teachings to Persia, Afghanistan, India and China. The Kubrawiyyah, throughout their long history, produced masters of great stature who taught and produced numerous, elaborate writings and doctrines of the Sufis. In 540/1145, in Khwarazm, South of the Aral Sea, Abu'l-Jannab Najm al-Din ibn Umar al-Kubra was born. From a very young age, he displayed a surpassing intelligence. In school he received the nickname Kubra, which literally means "the greatest." It is the abbreviated form of the Koranic phrase al-tammat al-Kubra, "the Greatest Calamity" (LXXIX: 34, Holy Qur'an). After completing his studies in Islamic religious sciences, Najm al-Din left his birthplace to pursue studies in other lands. He went to Persia to study the science of the Hadith then onto Egypt. In his early thirties, his thirst for esoteric matters attracted him to the Suhrawardiyyah order, where he was initiated by Shaykh Ruzbihan al-Wazzan al-Misri. According to Sheikh Kubra's writings, it is known that he had at least one profoundly moving spiritual experience in his childhood. Some believe that Najm al-Din's direction in spirituality may have been greatly affected by Baba Faraj Tabrizi due to his impressive mannerisms and advice to pursue the esoteric sciences.
His first experience as a salek was in Dizful, in western Persia, under the supervision of Ismail al-Qasri. After a short while, Ismail advised him to become an apprentice with Ammar ibn Yasir al-Bidlisi, who was a disciple of Abu'l-Najib al-Suhrawardi. After the passing of his teacher, Sheikh Ammar, Najm al-Din returned to Egypt where Sheikh al-Misri helped him to continue his training until he was permitted to instruct disciples of his own. While under the instruction of Sheikh al-Misri, he married his master's daughter. Upon receiving permission to teach, he was instructed to return to his birthplace, Khwarasm
Najm al-Din returned to Khwarazm sometime between 582/1185 and 586/ 1190 where he remained the rest of his life, devoting himself to the spiritual path and to teaching disciples. Although he had few disciples, he earned an epithet for his success rate of producing masters of high stature. The epithet was: Wali-tarash, "Sculptor of Saints." He wrote a number of discourses; Fawa'ih al-jamal wa fawatih al-jalal (Aromas of Beauty and Preambles of Majesty), being the most important of his works. In this text he included records of his personal, visionary experiences and guidance for practicing the path; a detailed theory of the Sufi path for initiates.
After a fruitful, spiritual life, Najm al-Din passed away in Urgench, near Khwarazm, in the year 618/1221, during the Mongol invasion. He was offered protection if he had accepted to take refuge with the Mongols; instead, he chose to fight and defend the City for it would result in a glorified martyr's death in battle.
All schools of Sufism are known for their strict rules and discipline of the self and the Kubrawiyyah's methods were not different from the rest. As a Sufi master, Najm al-Din insisted on certain prerequisites before he would consider anyone as a potential salek (student). In order to be considered as a candidate and accepted as a student, one was required to have solid knowledge of Islamic laws and Islamic theological doctrines. The disciplinary rules of the school are eight principles of Junayd (third/ninth centuries). A salek must constantly observe the following:
1. Ritual purity (wudu, a process of cleansing prior to prayer),
2. Fasting,
3. Silence,
4. Seclusion,
5. Innvocation or recollection of Allah, using the formula La Ilaha Ill'Allah (zikr),
6. Heart to heart connection with his/her Sheikh at all times,
7. Impure thoughts and impulses are to be put aside as they occur,
8. Surrender him/herself to the will of Allah and never refuse or question what Allah has imposed upon him.
In addition to the mentioned eight rules, Najm al-Din also highly recommended two additional rules: moderation in eating and drinking when breaking a fast, and maintaining a bare minimum of sleep.
Sheikh Kubra's description and theory of the Sufi path was that the journey towards Allah was none but an inward journey. He believed that whatever Allah put in the macrocosm, also existed within every individual on the microcosmic level. "Know that the lower soul, the devil, and the angels are realities that are not external to you. You are they. So, too, Heaven, Earth and the Divine throne are not located outside of you; nor are Paradise, Hell, Life, or death." VXVII:32, Holy Koran. He often told people to pray because Allah is praiseworthy; not for fear of hell or in wishing for paradise.
What set Sheikh Kubra's school aside from others and gave it a distinctive feature were his teachings on photisms; objective realities such as auras and other information obtained by faculties of the spirit, known as suprasensory senses, rather than the five physical senses. Suprasensory senses are considered to be more informative than those of our sensory perceptions, for the suprasensory perception, belonging to the higher Order of existence, is wide enough to observe both realms. It is said that when a salek begins his inward journey, he will first discover darkness. He then may receive visions of light. As he progresses, he will see beauty and lucidity. Soon after, spiritual visions will begin and gain strength as the salek becomes more pure. As the salek achieves further purity, his centers (various points in the body called Latifah, comparable to Chakras) gain strength. Kubra mentioned many times: "Our method (or path, tariqat) is the method of alchemy." The mystical experience will cause a transmutation and transforms the being, the spirit, and the five senses into senses that have further reach than that of the corporeal realm
Sheikh Kubra described love (ishq) as being the necessary, essential ingredient for the union of the lover and the Beloved. Sheikh Kubra also taught that the mutual love between the lover and the Beloved would bring forth the mundus imaginalis, "the person of light". The form of this person of light appears to the salek and is an indication of his later spiritual state. It is said that, initially, the person of light will appear in black form, which represents the darkness of the individual's existence. When the salek attains the state of purity, his visions of light will be green. The person of light will appear in an extraordinary luminous form; sunlike in intensity. Sheikh Kubra went on to describe the face as the face of the salek and that the sunlike form, the "sun of the spirit" would be that which would oscillate with one's body. The moment one is able to see the person of light, "the entire body is immersed in purity." The physical body then generates light due to the falling of the veil. That is when the faculties of inner vision are accessible by the physical body and the chest is a receiver, wide open.Najm al-Din Kubra successfully passed on his teachings and spiritual discoveries to his disciples who went on to spread the teachings of their master and offered the knowledge to unlock doors and reach the treasures that lie within. One of Sheikh Kubra's outstanding successors was Majd al-Din Baghdadi from a village in Khorasan, a province in Persia.
Very little is known about his life. Najm al-Din predicted that the death of his student would be by the hands of the Mongols and that he would be drowned in a river. Majd al-Din was also responsible for bringing together and producing praiseworthy disciples. Among his disciples was Najm al-Din Dayah. Although Baghdadi passed away before Sheikh Kubra, it seemed peculiar that Dayah did not acknowledge Kubra as his Sheikh. He regarded Baghdadi as his only Sheikh. Another follower of Majd al-Din was Farid al-Din 'Attar of Nayshapur, a great Persian Sufi writer and scholar.