Pihak yang tidak membolehkan bermadzhab pada satu madzhab atau bertaqlid pada satu madzhab, biasanya berargumen dengan perkataan Imam As Syafi’i yang disebutkan Imam Al Muzani di awal Al Mukhtasar, yang manyatakan bahwa Imam As Syafi’i melarang siapa saja untuk taklid terhadap beliau atau terhadap selain beliau. (Lihat Mukhtashar Al Muzani, hal. 1).
Nah, apakah benar dari ungkapan tersebut, bahwa Imam As Syafi’i melarang taklid secara mutlak? Para ulama telah menjelaskan maksud dari perkataan yang dinukil Imam Al Muzani tersebut.
Saat menjelaskan tingkatan mufti, An Nawawi menjelaskan mengenai karakter mufti muntasib, yakni mereka menisbatankan diri kepada madzhab, namun tidak taklid kepada madzhab imam atau dalilnya, akan tetapi masih menggunakan metode Imam untuk melakukan ijtihad. Kemudian beliau menukil pendapat Ibnu Shalah dan As Sinji.
Hafidz Ibnu Shalah mengatakan bahwa para sahabat As Syafi’i tidak bergabung kepada madzhab Syafi’i secara taqlid, akan tetapi karena mereka menilai metode ijtihad dan qiyas As Syafi’i lebih unggul. Hingga mereka mengambil kesimpulan hukum dengan metode As Syafi’i.
Abu Ali As Sinji, juga mengatakan,”Kita mengikuti As Syafi’i dan bukan yang lainnya, karena kami menilai bahwa pendapat beliau lebih rajih dan adil, bukan karena kami taklid kepada beliau.”
Kemudian Imam An Nawawi mengatakan,”Yang beliau berdua katakan, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan As Syafi’i dan Al Muzani di awal Al Mukhtashar dan di tempat lainnya kepada mereka, untuk tidak bertaklid kepada beliau atau selainnya.
Dari penjelasan Imam An Nawawi bisa disimpulkan, bahwa yang dimaksud tidak bertaqlid dalam ucapan itu, bukan berarti tidak bergabung dalam madzhab secara mutlak. Namun sampai pada tingkatan mjtahid madzhab.
Seruan untuk Tidak Bertaklid Tak Sesuai dengan Kondisi Para Imam
Ibnu Shalah sendiri mengatakan bahwa seruan meninggalkan taqlid dari para Imam bukan perkara yang mutlak,”Seruan untuk tidak bertaklid kepada mereka (para imam) secara mutlak bukanlah dakwaan yang lurus, dan tidak sesuai dengan apa yang diketahui dari keadaan mereka atau mayoritas dari mereka. (Lihat, Al Majmu’ 1/72).
Dari paparan di atas bisa disimpulkan bahwa pelarangan Imam As Syafi’i di atas tidak bisa dijadikan dalih untuk melarang bermadzhab. Karena para mujtahid muntasib sekalipun tetap menisbatakan diri kepada madzhab, dan memakai metode imam madzhab. Ulama As Syafi’iyah yang mengakui sampai pada derajat ini adalah Imam Abu Ishaq As Syairazi, penulis Al Muhadzdzab.
Pun pula ungkapan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang taqlid secara mutlak, sebagaimana disebutkan Ibnu Shalah. Dan faktanya, tidak semua orang memiliki kemampuan untuk berijtihad, baik dengan metode imam, apalagi membuat metode sendiri. Imam An Nawawi menyebutkan bahwa setelah masa As Syafi’i tidak ada mujtahid mustaqil, yang memiliki metode ijtihad sendiri (Al Majmu’ 1/72). Sehingga, bagi yang tidak mampu sampai kepada derajat itu, tidak bisa dipaksa atau memaksakan diri untuk berijtihad.
Jangankan untuk menjadi mufti muntasib, menjadi mufti muqallid pun bukanlah hal mudah, karena yang bersangkutan harus mengetahui pandangan madzhab yang dianutnya, baik pada masalah yang jelas maupun persoalan yang pelik. Mengetahui pendapat imam maupun cabang-cabang persoalan dari para ulama mujtahid dalam madzhabnya. Mufti semacam ini oleh Imam An Nawawi disebut sebagai mufti tingkatan ke lima atau terakhir. Dan semua tingkatan mufti, baik mustaqil, muntasib atau muqallid harus memiliki pengetahuan yang dimiliki oleh mufti muqallid (Al Majmu’, 1/72).
Rujukan:
Mukhtashar Al Muzani, Dar Al Fikr, cet. 2002
Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, Dar Al Fikr, Dr. Mahmud Al Mathraji, cet. 2005
Dipetik dari Al Manar
Tiada ulasan:
Catat Ulasan